Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Antara Uang dan Kebahagiaan, Mungkinkah Tidak Punya Banyak Uang Bisa Bahagia?

Kumpulan Motivasi Penyemangat Kehidupan untuk Remaja dan Dewasa




Apa yang ada di benak kalian jika mendengar atau melihat seseorang yang mempunyai banyak uang? Segala kebutuhan dan keinginannya sangat mudah dipenuhi dan didapatkan. Seolah-olah dunia dalam genggaman tangan.

Tentu menyenangkan, bukan?

Jika uang sudah berbicara semua urusan menjadi lancar. Bahkan, segala sesuatu yang tadinya rumit dan sulit, berubah menjadi mudah.

Hampir sebagian besar orang mengenal kita dan mengaku kalau mereka masih sanak saudara, masih ada hubungan darah meski tidak jelas asalnya dari mana.

Senyum dan bentuk segala keramahan bertebaran di mana-mana. Barang yang mau dibeli tinggal tunjuk saja, makanan yang mau diinginkan tinggal dinikmati. Mau pergi ke mana pun kendaraan sudah tersedia.

Belum lagi segala fasilitas yang lengkap dan mewah.

Ahhh ....

Mungkin ada yang bersependapat kalau itu adalah surga dunia. (Katanya)

Waah...

Siapa, sih, yang tidak mau merasakan surga dunia?

Tentu sangat membahagiakan bagi mata-mata awam yang melihat. Dipuja-puja bagi dunia, terkenal dan kaya raya. Sebutan orang tajir melintir disandang kemana pun kaki melangkah.

Diberikan fasilitas yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, asal ada uang. Bahagia kan?

Namun, ternyata uang bukanlah sebuah ukuran untuk merasakan kebahagiaan bagi seseorang.

Ada banyak contoh kasus bertebaran di muka bumi ini yang membuktikan hal tersebut. Kenapa bisa seperti itu? Karena memang letak bahagia itu di hati bukan karena materi. Mereka yang berkelimpahan harta ternyata menyimpan duka.

Tidak sedikit dari orang-orang berharta itu melarikan diri ke obat-obatan terlarang dengan dalih menghibur diri. Bahkan, sampai mengakhiri hidup dengan cara yang mengenaskan.

What?

Menghibur diri?

Jadi, ada kemungkinan kalau mereka juga mengalami sedih, kecewa dan tidak bahagia. Bukankah kalau banyak uang itu harusnya berbahagia? Itu jika uang adalah alat pengukur kebahagiaan.

Jika mereka bahagia dengan uang yang dipunya tidak mungkin mereka membahagiakan diri dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Namun, kembali lagi kalau ternyata uang bukanlah sebuah jaminan untuk kebahagiaan.

Tidak bahagia bukan kurangnya uang, tetapi kurangnya rasa syukur. Syukur terhadap apa yang dipunya dan dijalani dalam kehidupan ini.

Orang yang tidak berkelimpahan uang pun banyak, kok, yang bahagia. Hidup mereka tenang dan nyaman. Mereka masih bisa tertawa lepas dan tertidur dengan pulas.

Itu semua karena adanya rasa syukur dan tidak membanding-bandingkan hidup dengan orang lain. Menikmati semua yang pencipta beri dengan Qona’ah.

Berikut ini adalah contoh sederhana mengenai pola pikir kebahagiaan dengan membagi kelompok berdasarkan taraf kehidupan yang berbeda. Serta cara bagaimana mereka menyikapinya.

Misal,

Si A : Kaya, cantik, pintar, tetapi anak broken home.

Sedangkan,

Si B : Kaya, cantik, keluarga lengkap, tetapi kurang pintar.

Ada lagi,

Si C : Kurang kaya, kurang cantik, kurang pintar, anak broken home pula.

Ini adalah sebuah permisalan saja, ya, bukan harus sama persis seperti itu. Boleh juga dikelompokkan berdasarkan apa yang ditemui pembaca pada kehidupan nyata lainnya.

Jika dilihat dari contoh di atas, maka sebagian besar orang-orang bersependapat kalau si A dan si B lebih bahagia dari si C. Namun, fakta di lapangan justru mengejutkan. Ternyata justru si C lebih bahagia dari pada si A dan si B.

Kok bisa? Ya, bisa.

Karena si C tahu cara menikmati hidup dan lebih bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Tidak protes terhadap Allah Ta’ala serta tidak membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain.

Sedangkan si A dan B lebih tertarik terhadap apa yang tidak dia punya. Menyibukkan diri dengan apa yang dimilikki oleh orang lain, atau mungkin pula fokus dengan kelebihan orang-orang yang ada di atas mereka. Tidak bersyukur dan kufur nikmat.

Merasa kurang dan kurang terus, sampai pada akhirnya lupa kalau dirinya sudah banyak mendapat apa yang tidak didapat orang lain. Haus akan pujian dan pengakuan.

Padahal kebahagiaan itu sangat gampang jika standar yang ditentukan juga mudah. Kebalikkannya, akan menjadi sulit kalau standarnya juga susah.

Bagaimana dengan dirimu sendiri? Sudah merasa bahagiakah saat ini?

Jika tidak merasa bahagia, mulai dari sekarang ubah pola pikir tentang kebahagian harus punya uang yang banyak, berkelimpahan, jabatan tinggi, kepintaran dan prestasi, atau pula standar umum lainnya yang sulit dijangkau.

Misal, pembaca merasa bahagia saat membeli mobil keluaran baru atau saat membeli rumah mewah. Maka, tentu saja harus mencapai tujuan di atas baru merasa bahagia.

Lain lagi, kalau standar kebahagiaan pembaca hanya dengan bisa berkumpul dengan keluarga saat weekend atau sesuatu yang paling sederhana lainnya, diberi nikmat sehat sudah alhamdulillah. Hal itu pula tentu membuat pembaca merasa bahagia.

Kalau penulis sendiri standar kebahagiaannya tidak muluk-muluk. Kadang sesuatu yang kelihatan receh pun bisa membuat dirinya merasa bahagia.

Misal, berbagi makanan dengan kucing jalanan, bercengkerama dengan keluarga, atau pula menulis serta melakukan apa yang disukai lainnya. Rebahan juga bisa, tetapi sesekali. Jangan keterusan.

Karena untuk menunggu pencapaian yang tinggi baru bisa bahagia, pasti kebahagiaan itu tidak akan didapatkan. Setiap lapisan langit ada langit berikutnya yang lebih tinggi.

Begitu pula tingkatan manusia, dari yang taraf kehidupannya baik akan ada yang lebih baik, lalu yang terbaik dan seterusnya. Sampai tidak diketahui harus mengungguli siapa lagi di dunia ini.

Inti dari bahasan di atas adalah sikap dan pemikiran dari diri kita sendiri. Bukan dari benda atau pendapat orang lain, apa lagi uang. Meski uangnya berlimpah, kalau pikirannya ruwet dan tidak bersyukur. Tetap saja nol.

Sesekali pergi berjalan ke tempat-tempat yang membuat diri ini dapat merenungi apa hakikat dari kehidupan sebenarnya.

Buka mata, buka hati dan buka telinga. Lebarkan pandangan serta pendengaran, di luar sana banyak orang-orang yang lebih kekurangan. Jangan lupa pula untuk membagi setiap apa yang bisa diberikan.

Memberi tidak harus menunggu kaya raya, tetapi bisa saat merasa mampu. Resapi setiap senyuman yang mereka berikan sebagai tanda terima kasih kepada dirimu.

Percayalah saat diri ini membagi kebahagiaan kepada orang lain, maka kebahagiaan itu akan kembali lagi dengan membawa berlipat-lipat kebahagiaan lainnya.

Tidak mesti berupa uang. Tidak!

Ada yang lebih berharga dari pada sekedar uang. Tubuh yang sehat tak pernah sakit-sakitan, urusan yang dipermudah dan rasa tentram di dalam keluarga pun itu juga sudah menjadi kebahagiaan.

Jadi, walau kita tidak berkelimpahan uang, kita juga bisa bahagia. Kuncinya nikmati saja nikmat yang kau punya, sehingga kau lupa pada kenikmatan yang ada pada orang lain.

Author: Aisyah Nantri

Selamat membaca di Catatan Pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.

Post a Comment for "Antara Uang dan Kebahagiaan, Mungkinkah Tidak Punya Banyak Uang Bisa Bahagia?"