Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Aku Rela Jadi yang Kedua, Demi Membuatnya Bahagia

Kisah Pilu, Antara Memperjuangkan Cinta atau Membalas Budi



Hujan di luar masih sangat deras. Aku memaksakan diri menerobos reruntuhannya. Bagiku basah kuyup oleh air hujan seribu kali lebih baik dari pada harus basah kuyup oleh air mata.

Dengan langkah setengah berlari, aku meninggalkan rumah mewah itu. Rasanya tidak sanggup menampilkan senyum bahagia demi menutupi rasa kecewa.

Kukira aku adalah wanita tangguh yang tidak gampang terjatuh. Rupanya aku salah. Aku rapuh bagaikan kayu lapuk yang termakan usia.

"Oh, Tuhan. Berikan hamba kekuatan,” bisikku tertahan.

Masih tergambar jelas betapa bahagia raut wajah milik Tiara, di saat pria impiannya mengucap ijab qabul sebagai tanda resmi pernikahan mereka berdua.

Seandainya pria itu bukan Samudera, tentu aku juga merasakan kebahagiaan yang Tiara rasa. Bahkan, mungkin aku paling semringah karena melihat adik angkatku itu bersanding dengan pria yang dia cintai.

Namun, yang kurasa justru berbanding terbalik. Kecewa, marah, terluka karena keadaan berpadu menjadi satu. Mau tidak mau aku harus menerima kalau pendamping hidup Tiara itu adalah Samudera.

Pria yang sangat kucintai sekaligus pencipta luka di hati. Pria yang membuat posisiku menjadi serba salah. Berada di antara dua pilihan, lebih memperjuangkan rasa cinta atau berkorban untuk membalas budi.

"Aaaaaaaargghhhh!" teriakan panjangku tenggelam oleh suara petir yang menggelegar.

Aku manjatuhkan diri. Berlutut dan membiarkan gamis yang kupakai bercampur dengan lumpur dan air hujan.

Air mata yang jatuh bukan lagi berupa tetesan, melainkan curahan yang mampu membasahi seluruh bumi.

Apakah keputusanku ini akan menjadi penyesalan? karena lebih memilih memberikan payung hatiku kepada orang lain, sementara diriku sendiri kehujanan.

Potongan Kisah Masa Lalu


"Kak Nisa yakin mau tinggal sendiri?” tanya gadis bermata bundar itu, menatap haru.

"Iya, Ra. Lagian Kakak juga pingin mandiri, masa mau menumpang di sini terus," jawabku sembari menyiapkan beberapa barang yang akan kubawa.

“Kakak gak numpang di sini, ini rumah kita, Kak.”

Aku mencoba bersikap tenang menahan sesak yang semakin lama semakin tak terbendung.

“Kakak juga ingin belajar menjalani kehidupan, Ra. Toh, sekarang kamu sudah ada yang menjaga.” Aku melirik Samudera yang duduk di samping Tiara.

Samudera tersenyum getir, lalu mengusap pucuk kepala Tiara dengan lembut.

“Ehmmm....” Tiara menggelayut manja di lengan kekar milik Samudera.

Hatiku terasa nyeri melihat adegan-adegan kecil yang mereka lakukan, laksana ditusuk ribuan jarum yang sangat tajam. Aku buru-buru membuang pandangan ke arah lain. Berpura-pura acuh tak acuh.

Rumah ini memang bukan lagi tempat untuk diam. Secepatnya aku harus pergi dari sini. Tugasku menjaga Tiara dengan baik sudah selesai. Selain itu, aku juga tidak mau menanggung rasa cemburu berkepanjangan.

Samudera sudah menjadi milik Tiara. Dia bukan lagi pria yang selama ini menjadikan aku ratu di hatinya. Dia bukan lagi pria yang sangat menginginkan aku di dalam hidupnya.

Samudera hanyalah potongan kisah masa lalu yang harus kubuang jauh-jauh. Dia hanyalah pria yang berkorban demi menuruti permintaanku. Dia hanyalah pria yang sempat terluka oleh penolakanku.

Ah, tidak!

Bukan dia saja yang terluka. Aku pun juga terluka. Bahkan, aku yang paling terluka. Harus menghancurkan mimpiku sendiri yaitu bersanding dengan pria yang kucintai demi menepati sebuah janji.

Kalau saja Tiara tidak pernah menjadikan aku sebagai tempatnya untuk mencurahkan isi hati, aku pasti tidak akan pernah tahu kalau gadis itu sangat menginginkan Samudera di dalam hidupnya.

Kalau saja dulu aku tidak terlunta-lunta di jalanan dan bertemu keluarga yang baik hati ini, aku pasti tidak akan terpaksa berjanji untuk berkorban demi kebahagiaan Tiara.

Namun, aku harus berdamai dengan keadaan. Ikhlas menerima kalau aku dan Samudera adalah sepasang kekasih yang harus berpisah karena takdir-Nya.

“Aku sebenarnya kurang setuju kalau Kak Anisa harus tinggal di tempat lain, tapi aku juga tidak berhak untuk menahan Kakak untuk tetap di sini. Aku pasti merasa rindu sekali. Apa gak coba dipikirkan sekali lagi, Kak?” Tiara mencoba menggoyahkan keputusanku.

“Tiara, Kakak masih tinggal di kota ini. Bukan di luar negeri. Kita bisa saling mengunjungi setiap bulan. Bahkan, setiap pekan.”

“Tapi, Kakak janji harus sering-sering datang ke sini. Nanti Mas Samudera yang jemput pas akhir pekan, iya ‘kan, Mas?” lagi-lagi celotehan Tiara membuat tenggorokanku langsung tercekat.

"Ehm, iya,” jawab Samudera singkat.

Aku menggelengkan kepala samar. Menggigit bibir bawah dengan pelan. Berusaha bersikap tenang. Tiara, seandainya kamu tahu kalau aku dan Samudera dulu pernah menjalin kasih dan memutuskan berpisah demi kebahagiaanmu, mungkin kamu tidak akan membiarkan kami menjalin kebersamaan.

Aku pergi untuk menjaga semua perasaan, perasaan Tiara, perasan Samudera, juga perasaanku sendiri. Jangan sampai setan malah memberi kami kesempatan untuk melakukan pengkhianatan.

“Tiara, Kakak sangat berterima kasih karena selama ini kamu, Mama dan Papa sudah memperlakukan Kakak dengan sangat baik. Janji Kakak untuk menjagamu hingga kamu menikah sudah Kakak tepati, tapi ingat, sampai kapan pun kamu tetap adik Kakak yang sangat Kakak cintai. Kakak akan melakukan apapun demi kebahagiaan kamu.”

Mata Tiara berkaca-kaca mendengar ucapanku. Aku mencubit pipinya dengan lembut.

“Dasar anak cengeng.” Aku memeluk tubuh gadis itu. Mengusap butiran-butiran halus yang meluncur dari sudut matanya.

“Ra, udah, ya. Kakak mau berangkat sekarang. Besok atau lusa Kakak balik lagi ke sini untuk mengambil beberapa barang yang belum di packing.”

“Biar Mas Samudera yang antar Kak Anisa.”

“Gak usah, Ra. Kakak bisa pesan taksi online.”

“Please, jangan nolak, Kak. Biar aku yakin Kakak baik-baik saja sampai di tempat tujuan.”

Aku hanya menghela napas dalam. Samudera meraih koper-koper berisi pakaianku dan menatanya di dalam mobil. Kenapa hati ini masih saja terus bergetar tatkala beradu pandang dengan pria itu? Astaghfirullah, perasaan macam ini.

Menagih Sebuah Janji


Tubuh kurus itu hanya mampu berbaring di ranjang. Wajahnya yang pucat pasi seperti tidak ada aliran darah sama sekali. Kuyu.

Tangisku tumpah membasahi pipi mulusnya. Rasa tidak tega dan iba menyeruak melihat keadaan Tiara.

Setelah sekian lama menghilang dari kehidupan Tiara dan Samudera, kini aku kembali lagi dengan sebuah kenyataan yang tak kalah memilukan.

Tiara sedang berjuang antara hidup dan mati. Penyakit yang dia derita perlahan menggerogoti semangat hidupnya.

“Kak, dulu Kakak pernah berjanji akan membahagiakan aku dengan cara apa pun. Apa boleh aku menagih janji itu, Kak?” suara lirihnya membuat tangisku semakin pecah.

“Apa, Ra? Apa yang harus Kakak lakukan agar kamu bahagia?”

“Kakak janji akan mengabulkan permintaanku.”

“Kakak janji, Ra.”

“Menikahlah dengan Mas Samudera, Kak?”

“Ra!” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan cepat.

“Aku merasa sangat bahagia jika Kak Anisa menikah, dan aku percaya jika Mas Samudera mampu memberikan kebahagiaan pada Kakak. Aku ingin pergi dengan tenang.”

“Gak, Ra. Jangan lakukan itu. Kamu pasti sehat seperti sedia kala. Kita akan menghabiskan waktu bercengkrama seperti dulu. Kakak janji akan terus menemani kamu di sini.”

“Kak Nisa sudah janji ‘kan?” Tiara menekanku. Lalu beralih pada Samudera. “Mas ....”

Aku tidak sanggup berkata-kata, hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti. Samudera mengganggukan kepala, dan aku melihat tatapannya masih hangat seperti dulu.

Ah, mengapa harus seperti ini?

Bermain di Rollercoaster Perasaan


Semua berlangsung begitu cepat. Tanpa terasa pernikahanku dengan Samudera sudah memasuki bulan ke 6. Dan sekarang aku tengah mengandung buah cinta kami berdua.

Kesehatan Tiara juga berangsur membaik. Rona-rona keceriaan juga mulai tergambar di wajah cantiknya. Tentu saja hal itu semakin membuatku merasa bahagia.

Hidupku seakan-akan berada di rollercoaster perasaan, berbagi cinta dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Selain harus pintar mengendalikan diri, juga harus siap menanggung rasa cemburu sepanjang waktu.

Mengalah adalah seni yang harus kuperankan. Bagaimana pun juga aku adalah orang kedua dalam pernikahan Tiara dan Samudera. Dan aku harus sadar diri kalau aku bukanlah wanita satu-satunya dalam hidup Samudera. Ada Tiara, wanita yang selalu kujaga hati dan perasaannya.

Kadang aku merasa tidak percaya dengan apa yang kujalani sekarang ini. Aku selalu menolak untuk bermandikan madu cinta dan air mata dengan berbagi kasih pada wanita lain. Malah sekarang aku memainkan peran sebagai orang kedua.

Manusia memang hanya bisa berencana, tetapi keputusan mutlak tetap berada di tangan Allah Ta’ala.


***

“Menulis adalah caraku bercerita kepada dunia.”

Selamat membaca di catatan pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.

Post a Comment for "Aku Rela Jadi yang Kedua, Demi Membuatnya Bahagia"