Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Nasihat Ibu, Takdir Milik Allah Episode 5

Novel Religi Motivasi Pelajaran Kehidupan 


“Aduuuh ...!” pekik Nayra.

Gadis belia itu terbangun dan sudah berada di lantai, rupanya peristiwa tadi hanya mimpi. Azan Subuh terdengar berkumandang, pintu kamarnya diketuk dari luar.

Tok-tok-tok!

“Nayra, Nay ... bangun, Nak. Sudah azan Subuh,” Bu Sofi memanggil putrinya.

“Iya, Bu.” Nayra menggeliat melemaskan pinggang, badannya terasa sakit semua.

Rasa malas untuk salat selalu datang menyerang, terutama ketika tiba waktu Subuh. Tidak seperti kedua adiknya, Nina dan Nelsa yang sangat bersemangat untuk beribadah.

Nayra bahkan harus dibangunkan dulu baru mau bergerak. Seperti ada rantai yang membelenggu kakinya.

“Kak Nayra, Nelsa temenin, yah,” tawar Nelsa.

Bocah berusia tujuh tahun itu tampak menggemaskan. Mukena yang dia pakai hampir menenggelamkan tubuhnya yang mungil.

“Maa syaa Allah, baik sekali adiknya Kakak,” sahut Nayra memegang pipi chubby milik Nelsa.

Suasana di luar rumah masih sedikit gelap. Mereka berjalan menuju pancuran kecil di dekat dapur untuk mengambil air wudu.

Dinginnya air yang menyentuh kulit membuat bulu roma berdiri, terasa menusuk sampai ke tulang. Nayra berwudu dengan gerakan cepat.

Di ruang tengah Bu Sofi dan Nina sudah menunggu. Nayra seperti biasa selalu berada di urutan yang di tunggu.

“Sudah selesai, Nay?” tanya Bu Sofi.

“Ehm, iya, Bu,” jawab Nayra sambil merapikan mukena yang dia kenakan.

“Ayo, anak-anak rapikan safnya.”

Nayra, Nina dan Nelsa berdiri di samping Bu Sofi yang memimpin salat.

“Allahu Akbar ....”

***

Di dapur.

“Nay, Ibu mau tanya sama kamu, Nak.” Bu Sofi menatap putrinya dengan pandangan lekat. Nayra yang sedang mengiris potongan bawang langsung menghentikan aktivitasnya.

“Tanya apa, Bu? Kelihatannya serius, Nayra jadi deg-degan.” Gadis itu memegang dadanya menggoda Bu Sofi.

Namun, Bu Sofi menatapnya serius. “Apa Nayra punya masalah di sekolah? Kamu masih punya keluarga, Nak. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri, Ibu dan ayahmu adalah kamu berbagi. Apalagi jika hal itu membebani pemikiranmu.”

Nayra diam sejenak.

“Ibu, Nayra baik-baik saja. Kenapa Ibu sampai punya pemikiran seperti itu?”


“Naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi, peristiwa kemarin bukanlah hal yang kebetulan. Apa Nayra diganggu teman-temanmu, Nak?”

“Ndak, Bu. Mana ada yang berani ganggu Nayra ‘kan anak yang kuat.” Nayra memamerkan otot lengannya yang tak nampak sama sekali.

Bu Sofi hanya tersenyum melihatnya. “Semalam Ibu sudah ngobrol sama ayahmu, kalau Nayra sudah tidak betah di sekolah, kamu bisa pindah ke desa tempat nenek saja, Nay. Di sana pasti lebih nyaman dan tenang. Walau berat karena jauh, tetapi setidaknya anak-anak desa tidak akan berbuat nekat.”

“Anak desa dan anak kota sama aja, Bu. Mungkin yang beda hanya pemikiran orang-orangnya. Lagian Nayra tidak mau pindah ke desa, tidak mau pisah sama Ayah, Ibu, Nina, dan Nelsa. Nayra baik-baik saja di sini,” tolak gadis itu.

“Apa Nayra mau mondok saja? Mumpung masih awal tahun dan masih bisa diurus, teman Ayah ada yang bisa membantu.”

“Nayra belum sanggup jadi santri. Ibu dan Ayah tenang saja Nayra bisa jaga diri. Percayalah.” Nayra menggenggam tangan Bu Sofi untuk meyakinkan.

“Belajar agama itu juga penting, Nak, sebagai bekal buat kamu nanti. Nayra sudah beranjak dewasa dan sudah punya kewajiban untuk menutup aurat. Nayra sayang sama Ayah ‘kan?” tanya Bu Sofi.

“Tentu saja Nayra sayang sama Ayah dan Ibu, juga sama Nina dan Nelsa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?”

“Kalau Nayra sayang sama orang tua, mulai sekarang belajar berbenah diri. Menutup aurat dengan sempurna, pakai jilbab yang benar. Biar kami sebagai orang tuamu ringan tanggung jawabnya di hadapan Allah kelak, terutama ayahmu.”

“Tetapi Nayra belum siap, Bu. Nayra merasa belum pantas memakainya.”

“Bukan masalah pantas atau tidak, Nak. Menutup aurat itu kewajiban semua muslimah yang sudah balig, itu kewajiban dari Allah. Jilbab adalah bentuk penjagaan terhadap wanita muslimah seperti kita. Memangnya Nayra tidak malu melihat Nina dan Nelsa sudah memakai jilbab,” jelas Bu Sofi.

Nayra terdiam merenungkan ucapan Bu Sofi, di dalam hati gadis itu membenarkan apa yang ibunya katakan.

Kedua adiknya, Nina dan Nelsa memang dari kecil sudah menutup aurat, karena Pak Toni dan Bu Sofi sebelum mereka lahir sudah mulai mengikuti kajian sunnah di Masjid yang tidak jauh dari rumah mereka.

Sedangkan Nayra, sudah terbiasa dengan tampilan celana pendek dan kaus oblong. Gadis manis itu sangat nyaman mengenakan pakaian seperti itu, sehingga dia merasa sulit untuk berubah dan belum tergerak hatinya.

Jangankan memakai gamis dan jilbab yang lebar, melihatnya saja Nayra sudah merasa sumpek dan gerah.

Belum lagi tingkahnya yang terkadang keluar dari aturan dan tidak suka dikekang membuat dirinya berbeda. Jika Nina dan Nelsa sudah lancar membaca kitab suci Al-Qur’an, maka Nayra masih terbata-bata.

Walau urusan dapur dia bisa membantu dan bisa mengganti lampu yang mati saat Pak Toni tidak ada di rumah. Bahkan, gadis itu sangat bisa diandalkan.

“Bagaimana, Nak?” Bu Sofi kembali menanyai putrinya.

“Nayra belum yakin, Bu. Nayra takut tidak bisa membawa diri dengan baik. Nayra khawatir kalau pakaian mulia itu ikut tercoreng nilainya kalau Nayra tidak hati-hati memakainya.” Gadis itu teringat kalau sikapnya yang kadang tidak bisa dikendalikan.

“Nanti pakaian itu yang akan mempengaruhimu untuk berubah menjadi lebih baik. Ayah pasti semakin merasa senang jika Nayra mau menutup aurat, mau belajar agama dan salat tanpa disuruh.”

“Nayra tidak mau terpaku pada aturan agama, Bu. Nayra mau bebas dengan apa yang membuat hidup Nayra bahagia. Bukankah selama ini Nayra tidak pernah menentang Ayah dan Ibu, dan tidak pula merugikan orang lain.

 Nayra ingin hidup kita bahagia dan berkecukupan. Selama ini Ayah dan Ibu serta adik-adik sudah menjalankan agama dengan baik, tetapi tetap saja hidup kita kekurangan.” Kalimat itu meluncur deras dari bibir Nayra.

Entah setan apa yang membisiki gadis itu sehingga berbicara sekeras itu. Bu Sofi terkejut mendengar ucapan putrinya, mata wanita setengah baya itu mengembun.

“Nayra ... istigfar, Nak. Kenapa kamu jadi seperti ini? Anak ibu tidak pernah begini.” Bu Sofi menepuk-nepuk pipi Nayra.

“Bu, Nayra ....” Gadis itu terlambat menahan lisannya, dia menyadari ucapan yang keluar dari bibir mungilnya sudah menyakiti perasaan Bu Sofi. Hatinya yang sensitif membuat dia menghambur ke pelukan ibunya.

“Maafkan Nayra, Bu, Nayra tidak bermaksud menentang Ayah dan Ibu. Hanya Nayra belum bisa sepenuhnya untuk menjadi seperti yang kalian inginkan, tetapi percayalah Nayra tidak akan mengecewakan Ayah dan Ibu.” Nayra terisak dalam haribaan Bu Sofi. Dia sangat khawatir wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini menjadi terluka.

Bu Sofi mengelus lembut kepala putrinya.

“Nayra anak Ibu yang paling cantik, tidak apa jika kamu belum siap dengan segala aturan yang Allah berikan, tetapi jangan ulangi lagi, yah, Nak. Tidak boleh menyalahkan Tuhan dalam mengatur kehidupan, semua sudah sesuai porsi masing-masing. Kita harus tetap bersyukur, masih banyak orang di luar sana yang kekurangan.”

“Iya, Bu, Nayra janji tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan Nayra, Bu. Nayra tidak mau jadi anak durhaka.”

“Janji, yah, Nay. Anak Ibu adalah anak yang baik dan hebat, mau mengakui kesalahan dan meminta maaf. Itu tandanya kamu anak yang berjiwa besar.” Bu Sofi memeluk Nayra erat, melahirkan ketenangan bagi jiwa gadis itu.


#Bersambung....


Author: Aisyah Nantri

Sumber pict: Pixabay


Selamat membaca di catatan pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.

Post a Comment for "Nasihat Ibu, Takdir Milik Allah Episode 5"