Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kumpulan Prosa Sedih, Mendekap Serpihan Luka

Berikut 6 Prosa Senandika Sedih Menyayat Hati




Banyak kisah cinta yang berjalan di dalam kehidupan, tidak hanya ada tawa, terkadang riuh pula dengan tangis di dalamnya.

Tulisan-tulisan kecil sebagai tempat untuk menumpahkan segala isi hati, membuat si pembaca ikut larut di dalamnya. Merasa ikut mengalami apa yang dialami oleh penulis itu sendiri.

Berikut 6 prosa senandika sedih yang cukup menyayat hati!

Antara Logika dan Rasa Cinta


Entah berapa lama aku menunggu. Sudah sekian kali menatap jarum jam yang terus berputar tanpa bisa kuhentikan. Namun, jangankan dirinya. Bahkan, hembusan angin pun tidak mampu membisikkan kapan dia akan datang.

Dari pagi hingga malam menjelang. Lalu kembali menyongsong pagi lagi dan itu terus berulang-ulang. Belum. Belum juga ada tanda-tanda jika harapan ini akan sesuai dengan kenyataan.

Jujur, fisikku lelah. Apalagi hati, jangan ditanya! Godaan pun datang keroyokan, berebut membawaku pergi dari penantian ini.

Logika berkata, “Akan berapa lama engkau terpaku pada penantian yang tidak berkesudahan? Jangan habiskan waktu. Berjalanlah ke arah lain telah banyak menawarkan kebahagiaan.”

Namun, Rasa Cinta berkelit manja. “Sabarlah sebentar lagi, ini hanya ujian antara engkau dan dia. Semua butuh proses dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berjalan ke arah lain pun belum tentu memberi rona bahagia.”

Aku kebingungan, pernyataan mana yang harus aku dengarkan. Mengapa semua yang diutarakan keduanya membuatku semakin tidak berdaya?

Haruskah aku melarikan diri dari kenyataan atau berbenah diri melatih kesabaran?

Sepotong Rindu untuk Dia


Senja itu aku termenung. Menatap mentari di ufuk barat yang mulai tenggelam. Binar-binar jingga mengundurkan diri perlahan demi perlahan.

Gemerisik angin membelai rambutku dengan lembut. Membisikkan rayuan cinta yang mampu mendobrak keangkuhan seorang gadis ayu berwajah sendu.

“Sedang apa dirimu di sana? Mengapa getaran aneh ini semakin menguasai hati?” keluhnya.

Aku terdiam. Tidak menyangkal tidak pula membenarkan.

Segudang keraguan menelisik, saling mendahului antara rasa curiga dengan rasa cemburu. Berat. Tembok pemisah semakin kokoh di antara kami berdua.

Jarak, waktu, dan sederet penghalang bahu membahu menyeretku untuk menjauh. Hanya ada sepotong rindu yang berhasil kutitipkan pada heningnya malam.

Meski aku harus menghilang bersama pudarnya perasaan. Namun, tidak ada yang dapat menghapus semua kenangan.

Setumpuk Rindu dan Selembar Cemburu


Malam gelap tanpa setitik cahaya. Gerimis tipis perlahan menjadi butiran hujan yang sangat deras. Berulang kali kudongakkan kepala sembari menarik napas dalam.

Hujan jatuh di luar sana, tapi airnya berderai di atas wajah. Ah, semakin lama semakin basah dan semakin menenggelamkan perasaan.

Aku berusaha menggapai tempat ternyaman, memeluk diri yang mulai kedinginan. Bantal guling serta selimut penghangat badan menjadi saksi bisu, betapa mataku bercerita dalam keadaan terpejam.

Sekelebat bayangan menorehkan luka di dasar hati. Membuatnya berdarah sakit tak terperi. Ada setumpuk rindu yang kusimpan di dalam gudang penantian. Namun, sedang bertarung dengan selembar cemburu yang datang tanpa diundang.

Gemuruh antara keduanya membuat dadaku seakan hendak pecah. Siapa pun pemenangnya sungguh sama-sama membuatku tidak berdaya.

“Anggap saja sebagai latihan,” bisiknya pelan.

Kutatap layar benda pipih itu, mengapa kalimat selembut itu mampu menggoyahkan pertahanan.

Latihan saja sudah memanaskan mata, apalagi jika sudah terjun ke medan perang. Mungkinkah akan terbakar di dalam jurang kesetiaan?

Langkah memang tidak akan terhenti, tapi akankah aku tetap sampai finish dalam keadaan tertatih?

Sendu Berujung Pilu


Butiran halus itu meluncur deras, tajam lagi menyakitkan. Bercerita di tengah gelapnya malam dan sunyinya pendengaran. Terjatuh.

Ada sepi. Ada pula rindu.

Kunang-kunang berterbangan menyambut rona-rona rasa kecewa yang merangsek datang.

“Bertahanlah....”

Bisikan itu memegang erat, menopang tubuh yang mulai melayang terbawa udara keputus asaaan.

Bimbang dengan suasana hati yang tidak bisa diprediksi sama sekali. Kadang ada kekuatan yang muncul secara perlahan, tetapi rasa lemah tidak berdaya begitu kuat merebut tahta.

Kemana lagi kaki ini akan melangkah? Kemana lagi pilu ini akan bercerita? Pulang. Tempat pulang itu seolah menutup pintu. Mengusir secara perlahan tanpa mau menjelaskan.

“Senyum untuk menutupi luka.” Dia menyeringai, melempar belati kecil tepat mengenai ulu hati.

Aku terkapar. Merintih menahan nyeri yang tidak terperih.

Dia berlalu. Pergi tanpa mau meninggalkan rasa peduli. Aku ingin berteriak memanggil namanya dari seluruh penjuru arah. Namun, hanya terasa kelu dan pilu.

Aku hanya bisa menangis.

Mendekap Serpihan Luka


“Harusnya aku tahu diri,” desahnya perlahan, sembari menutup malam dengan aliran deras yang menganak sungai.

Aku memungutnya, mendekapnya penuh kelembutan. Pecah. Patah. Hancur berkeping-keping untuk kesekian kalinya.

Rupanya perekat yang dibuat, tak sekuat yang kukira. Dia hanya membohongi dunia, agar terlihat tegak demi menutupi luka lama.

Ah, lama nian aku mengumpulkan serpihan itu. Tertatih dalam gelap. Dia masih menyembunyikan wajah di balik bantal.

“Tenanglah sejenak. Sudah kubilang engkau jangan jatuh, lukamu belum sembuh. Aku tahu, kau tertawa hanya untuk menutupi duka. Dia tidak salah menyodorkan cinta. Bukan salah kau pula yang langsung tergoda. Aku tahu, hadirnya dia memberi harapan baru agar luka lama itu sembuh. Jangan menangis lagi. Jangan bersedih lagi. Ayo, bantu aku mengumpulkan serpihan ini.”

Dia menatapku dengan lemah, “Kau tahu diriku. Patahku kali ini lebih patah dari sebelumnya. Ini salahku karena terlalu mendamba. Ini salahku karena terlalu cinta.”

“Sudahlah jangan menyalahkan diri sendiri. Semua sudah terjadi. Tersenyumlah, kau kuat, kau hebat.”

“Aku ingin pergi.”

“Jangaaan.”

“Kenapa? Apa yang kutunggu? Bukankah kau selalu mendukungku saat aku melarikan diri dari kenyataan.”

Dia terus mendesakku. Mengoyang goyangkan tubuh ini dengan kencang, hingga aku ikut menangis merasakan penderitaan yang dia rasakan.

Aku tahu, dia lemah. Dia tidak berdaya. Aku tahu dia mencari sepi untuk menenangkan diri. Aku tahu, karena keegoisan pula dia menanggung akibatnya.

“Maafkan aku, ya. Jika itu maumu, kita akan pergi.”

Aku mendekapnya, serpihan kecil yang mulai aku kumpulkan.

Terima kasih.

Maafkan aku.

Akhir Sebuah Perpisahan


Rinai hujan mengelus pipi dengan lembut. Selembut tatapan matanya di kala itu. Aku berlari sembari mengeluh lirih. Gemuruh suara petir memang memekakkan telinga, tapi ada yang lebih menggelora. Yaitu, rasa pilu yang bergejolak di dalam dada.

Berteriak sekuat tenaga.

Sayangnya hanya sampai di tenggorokan. Dia tidak bisa melanjutkan langkah, kalah oleh ego yang tidak mau berhenti mencari cara agar aku pergi.

“Kau kalah.” Dia menghempas tubuhku dengan kuat.

Aku tersudut. Jatuh. Tergeletak di tepi jalan.

Hembusan angin mengoyak kulitku yang mulai kedinginan. Pelan-pelan menyurutkan indera penglihatan. Hanya berisik suara yang menjadi cahaya dalam kegelapan.

Sebuah hantaman keras mendarat di ulu hati. Nyeri tidak terperih. Ban mobil berdecit keras disusul suara menggelegar melepaskan diriku dari penderitaan.

Melayang.

Post a Comment for "Kumpulan Prosa Sedih, Mendekap Serpihan Luka"