Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Prosa Romantis, Cinta Sejati tidak Tersentuh Pamrih

Kumpulan Prosa Senandika Cinta




Cinta adalah sebuah rasa yang tidak akan pernah mampu diungkapkan dengan kata-kata, tetapi mempunyai makna yang luar biasa.

Semakin dalam mencintai maka semakin banyak pula rasa yang menempati. Ada selimut rindu, aroma curiga, juga ada api cemburu. Kadang tanpa sadar banyak hal yang tertuang lewat aksara demi melampiaskan rasa itu.

Kutipan-kutipan cinta sederhana, tetapi bermakna meluncur begitu saja. Merangkai bait demi bait sehingga membentuk prosa yang indah. Berikut adalah beberapa prosa senandika cinta yang menggambarkan perasaan seseorang lewat aksara.

Cinta Sejati tidak Tersentuh Pamrih




Sepasang mata terpajang indah, memandang pusaran awan yang mengelilingi matahari. Membiarkan ombak menjilat kaki. Desahan angin yang melintas di telinga membuat hati semakin terasa sepi.

Mengapa kebimbangan ini datang tanpa diundang? Sosok menyebalkan sekaligus aku rindukan itu kembali menari di pelupuk pikiran.

Aku terhanyut mengikuti irama yang Dia mainkan. Terlalu banyak keraguan yang perlahan demi perlahan menggeser tahtanya di hati.

“Lihat ini?”

Dia menyodorkan sebuah lukisan. Sepasang anak manusia tanpa sehelai benang saling mendekap, erat dan lekat.

Aku terhenyak. Darahku mendidih seketika, mata ini membulat dengan sempurna. Menepis lukisan itu dengan kasar, lalu bergegas mengayun langkah meninggalkan Dia yang kubenci sekaligus kucintai.

Sungguh, m e s u m sekali otaknya!

“Tunggu dulu!”

Dia berusaha mengejar. Aku berlari. Meninggalkan jejak di atas butiran pasir yang halus. Burung-burung melempar ejekan melihat tingkah laku kami. Sangat menyebalkan!

Namun, aku menyerah. Harus mengaku kalah. Langkah kaki berkhianat, memilih hati yang bertahan untuk tetap diam dan menunggu Dia datang.

Ah, benar saja!

Sepasang tangan meraih tubuh ini dengan cepat. Membawa masuk ke dalam pelukannya. Butiran halus di sudut mata meluncur dengan sempurna. Dada yang bidang itu semakin merengkuh membalas pukulan dari tangan kecilku.

Dia tersenyum, mendaratkan kecupan di atas kepala. “Maafkan aku, jangan marah.”

Ada kehangatan, ada ketenangan mendengar nada yang dia lantunkan. Ah, lagi-lagi aku kalah. Meleleh sudah bongkahan es yang membungkus hati.

“Kau lihat lukisan ini?”

Tak ada jawaban. Aku sengaja mengunci mulut dengan kebiasaan wanita. Merajuk.

“Jangan marah dulu, coba perhatikan lukisan ini.”

Hembusan napasnya seakan-akan mengacak pucuk kepala. Menciptakan desiran halus yang mampu menghipnotis hati.

Mataku memindai lukisan yang dia sodorkan. Membuat tarian jari jemari di atas permukaannya. Ada keindahan, ada rasa cinta, serta ada kesakitan. Aku menemukan kebimbangan atas prasangkaku.

“Mengapa mereka berpelukan tapi saling menancapkan kuku di tubuh pasangan?”

“Itulah yang ingin kujelaskan. Kau tau artinya?”

Aku menggeleng.

“Cinta itu menyakitkan. Siap mencintai berarti harus siap merasakan sakit.”

“Terus mengapa tidak memakai pakaian?”

“Itulah cinta sejati. Pakaian itu ibarat pamrih. Dan cinta sejati tidak pernah tersentuh pamrih.”

Ah, benarkah? Benarkah seperti itu? Dia mendaratkan sentuhan itu kembali. Lagi dan lagi. Dunia berputar. Pandanganku mengabur. Deburan ombak cinta yang menggulung tubuh semakin membuat kami tenggelam.

Aku berusaha menggapai tepian pantai untuk mencari pegangan. Namun, yang kudapatkan justru sesuatu yang membuai. Indah. Teramat indah untuk ditinggalkan.

Ketika Gelombang Kerinduan Datang




Penghujung petang, kusambut gelap yang mulai menyelimuti. Mempersiapkan diri berdansa dengan sepi. Aku menyunggingkan senyum seperti biasa. Membiaskan rona jingga bak mentari yang mulai menepi.

Bukan hal pertama bagiku. Mencari pegangan tatkala gelombang kerinduan mulai menghampiri. Sendiri. Sepi. Tak ada yang dapat aku lakukan selain menunggu dengan sejuta harapan.

Binar mata mulai meredup. Pelan-pelan memasuki negeri mimpi, berjalan, kemudian berlari.

“Sampai kapan kau menunggunya seperti ini? Berharap mimpi menjadi nyata, tetapi kau tak bangun untuk mewujudkannya.”

Kelopak mataku yang tadinya berat, mulai menolak. Dia terjaga seketika. Sekelebat pertanyaan sederhana itu mampu memberikan semangat untuk mengirim rindu yang sudah tidak mampu dibendung.

Aliran air mengucur, mengusap wajahku dengan sejuta harapan. Semangat, meski dingin mulai mendekap seolah-olah ingin membuatku mati perlahan.

Bait-bait do’a mulai terbang. Melayang berusaha menembus langit ke tujuh.

Kapan rasa ini akan berlabuh nyata? Membuat aku dan kamu menjadi kita. Merapat, erat serta hangat. Entah, ini malam ke berapa aku mengeja waktu menunggu saat itu tiba. Di mana hanya temu yang menjadi penawar rindu. Di mana hanya sentuh yang menjadi pelipur lara.

Lihatlah, bintang yang ada di atas langit sana. Terlihat kecil, tetapi sinarnya dapat menyilaukan mata. Bukan. Bukan mata. Melainkan perasaanku yang selalu menitipkan rindu untuk engkau yang ada di sana.

Pelangi Cinta di Ujung Senja




Butiran pasir halus yang kugenggam, sengaja kusebar pelan agar aku bisa menghitung betapa banyak rasa rinduku padamu. Begitu juga dengan deburan ombak yang membelai kaki secara perlahan, kunikmati dengan mata terpejam, agar aku bisa melewati malam panjang bersamamu.

Di balik kain itu aku tersipu malu. Mencoba mengalihkan perhatian dengan merangkai kata agar kita tidak terlalu terpaku pada rasa. Gugup. Campur aduk.

Maafkan aku yang selalu memancing keributan dan rasa cemburu di hatimu. Maafkan aku yang selalu mengais masalah di atas luka lama yang belum sembuh. Kita hanya butuh waktu untuk saling memahami. Kita hanya butuh waktu untuk saling mengerti.

Tanpa kujelaskan engkau pasti tau betapa aku sangat mencintaimu. Lewat tangis dalam dekap hangat di senja itu. Aku mencari perhatianmu dengan cara yang berbeda dari wanita lainnya. Kau hela napas dalam, lalu kau lemparkan aku ke tengah laut kebahagiaan.

Kita tertawa. Berderai dan saling mengucapkan kata cinta. Ingat, bukan?

Kau, mendekat. Perlahan menyingkap kain penutup wajahku. Menciptakan rona merah sekaligus bahagia berpadu menjadi satu. Deru napas tak lagi punya aturan. Aku tersipu.

Pelan, tapi pasti. Kita merebahkan diri di atas dipan kebahagiaan. Saling merengkuh dan melepaskan rindu yang selama ini terpendam.

Tidak ada lagi kata yang bisa aku lukiskan. Indah, sangat indah. Untuk dirimu, terima kasih sudah menjadi pelangi di ujung senja.

Ternyata Seseorang itu




Langit cerah. Mendung yang tadi menggelayut tebal, perlahan mulai menghilang. Matahari tersenyum ceria, seakan-akan tahu apa yang sedang aku rasa.

Ada harapan yang perlahan mulai menjadi nyata. Perlahan mengusir sepi yang selama ini telah setia bersamaku. Terima kasih telah menepis semua keraguan. Terima kasih pula sudah menjadi jawaban dalam penantian.

Genggam erat tanganku dan jangan coba untuk lepaskan. Tatap bola mataku dan jangan lagi engkau palingkan. Biarkan rasa ini semakin tumbuh. Semakin kuat hingga tidak mampu ditumbangkan. Aku tetap menunggu saat itu tiba, di mana aku dan kamu menjadi kita.


Author : Aisyah Nantri

“Menulis adalah caraku bercerita kepada dunia.”

Selamat membaca di catatan pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.




Post a Comment for "Prosa Romantis, Cinta Sejati tidak Tersentuh Pamrih"