Menggapai Cinta Allah di Dalam Keterasingan - Cerita Hijrah Muslimah
Bertahanlah dengan Apa yang Engkau Niatkan!
Jika hidup di dunia hanya untuk mencari ridho manusia, maka bersiaplah untuk menjalani hari-hari bersama derita. Karena bahagia sesungguhnya adalah saat kita menjadi hamba yang taat bagi sang Pencipta.
***
“Yakin berangkatnya mau pakai baju kayak gini? Baru ngeliatnya aja gue udah ngerasa panas dan sumpek,” ujarku pada Ais, sambil memegang gamis yang dia berikan.
“Yakin, dong. Udah deh, Ra. Pokoknya lo ikut aja. Please temenin gue, ya! Hari ini tuh ada acara pengenalan cadar di komunitas hijrah yang gue ikutin,” pinta Ais sedikit memaksa.
“Ngapain sih ikut komunitas kayak gitu, Is? Mendingan ikut komunitas yang agak gaul dikit. Biasanya banyak cowok ganteng tuh, mau gue kalau diajak gabung,” balasku sambil membuka bungkus snack yang sedang kupegang.
“Komunitas Hijrah lagi viral, Ra. Lo gak lihat di youtube? Tuh, ada penyanyi religi lagi digandrungi anak muda. Udah cakep, suaranya bagus lagi. Lagian, aku kayaknya adem aja ngeliat cewek-cewek pakai gamis dan jilbab panjang. Lebih lagi lihat yang bercadar, kayaknya misterius gimana gitu, hehehe ....”
“Aneh lo mah. Hijrah kok ikut-ikutan? Lo gak takut, kalau nanti dituduh teroris karena pakai cadar?”
“Justru itu, Haura sayang. Karena sekarang lagi maraknya isu teroris bercadar, jadi komunitas yang gue ikutin hari ini turun ke jalan. Untuk memperkenalkan cadar kepada masyarakat awam. Kalau cadar itu termasuk syariat dalam beragama. Gitu, kata temen gue. Udah, ah! Pokoknya lo harus ikut!”
Ais meninggalku sembari tersenyum menyebalkan. Lagi-lagi aku tak bisa menolak keinginan sahabat satu kostanku itu.
***
Lagu religi yang diputar terdengar merdu di telinga, liriknya asyik juga. Kulihat beberapa orang mulai mendatangi Taman Rakyat, tempat di mana kami berada.
“Haura, lo pegang ini, ya! Kita gantian dengan teman yang lain.” Ais memberikan sebuah kertas karton kepadaku.
Kulihat, ada tulisan besar di kertas itu.
‘Peluk saya, jika anda percaya saya bukan teroris'
"Duh, Is. Lengkap sudah penderitaan yang lo berikan hari ini. Pakai baju ketutup di cuaca yang panas. Ditambah suruh berdiri pegang beginian. Abis ini traktir, ya!” candaku padanya.
“Tenang aja, Ra. Yang penting, nanti pas giliran gue orasi, lo videoin, ya. Mau gue edit pake background lagu religi, biar makin keren.”
“Dasar, Ais! Ikut beginian cuma buat gaya-gayaan.” Gerutuku dalam hati.
***
Suasana mulai ramai, suara seseorang terdengar menyerukan untaian kalimat yang terasa menyentuh.
“Cadar bukanlah ciri teroris, cadar adalah bentuk kemuliaan terhadap muslimah. Menutup aurat bukanlah pengekangan, melainkan sebuah bentuk penjagaan terhadap wanita.
Jilbab dan cadar termasuk syariat dalam beragama, buat teman-teman yang sudah memakainya niatkan sebagai bentuk keta’atan pada perintah Allah Subhana Ta’ala ....”
Deg! Seperti ada sentilan kecil yang menyentuh hati. Aku merasa tersindir, sudut mataku terasa panas. Air mata mengalir tak bisa dibendung. Terisak di balik cadar yang menutupi wajahku. Bagaimana tidak, pakaian yang kupakai saat ini kukenakan karena ajakan teman, bukan karena perintah Tuhan.
Jangankan memakai jilbab besar dan bercadar, bahkan melihatnya saja aku merasa ngeri dan seram.
***
Sejak ikut Ais dan teman-temannya. Aku mulai aktif ikut taklim dan gabung di Komunitas Hijrah. Shalat yang tadi bolong-bolong mulai digenapkan. Akun media sosial pun tak luput dari jangkauan, terasa pegal tangan ini menghapus foto-foto lama yang tak menutup aurat. Pokoknya hijrah harus totalitas tanpa batas.
Namun, rasanya tak lengkap jika tidak menutup aurat secara sempurna. Masih terasa kurang jika rok ketat dan kemeja ini masih melekat di badan. Aku ingin memakai gamis panjang dan jilbab yang lebar.
Keinginan itu terhalang karena peraturan di tempatku bekerja. Meski berstatus sebagai pekerja paruh waktu, tetapi tetap diberlakukan memakai seragam yang sudah disediakan oleh perusahaan.
Aku merasa berada di situasi yang menyulitkan. Di satu sisi aku harus tetap bekerja agar bisa mendapat uang untuk biaya kuliahku, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang membuat aku harus keluar dari tempat itu.
Setelah menimbang dan shalat Istikharah akhirnya aku menemukan pilihan yang tepat.
“Ais, gue bulan depan udah gak kerja lagi. Tadi udah ngajuin surat resign. Tinggal ACC dari bos,” ucapku pelan.
“Yang benar, Ra? Kok resign?”
“Ya, lo ‘kan tau sendiri peraturan perusahaan tempat gue kerja, gak boleh pakai jilbab. Apalagi yang lebar.”
“Iya, juga, sih. Tapi, gimana dengan biaya kuliah lo, Ra?” Ais yang tahu keadaan ekonomi keluargaku terlihat simpatik.
“Entahlah, nanti gue cari rezeki dari jalan lain.”
“Emang lo gak mau bertahap aja dulu, Ra? Pakai jilbab pendek, pakai celana panjang. Gak musti langsung bergamis dan berjilbab lebar.”
“Gaklah, Is. Keputusan gue udah bulat.”
“Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik lagi, Ra.”
“Aamiin. Lo sendiri gimana? Gak ada niat buat putus ama pacar lo itu, heheh.” Aku tertawa kecil, mengalihkan topik pembicaraan.
Ais terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaanku.
“Gue lupa cerita mau cerita. Pacar gue udah gue putusin, kok.”
“Alhamdulillah. Jomblo ni, ye,” Aku menggoda pemilik nama lengkap Aisa Aqira itu. Dia hanya tertawa mendengar nya.
“Semoga kita berdua bisa Istiqomah ya, Is,” sambungku.
“Aamiin, ya, Mujib. Gue juga berusaha meluruskan niat karena Allah, bukan karena fenomena hijrah,” sahut Ais mantap.
Sejak viralnya kata ‘Hijrah’ berbondong-bondong remaja tanggung yang ikut fenomena itu. Aku dan Ais, diantaranya.
Namun, perjalanan yang kulewati tidak semudah yang dibayangkan. Surat lamaran yang kukirim ke beberapa tempat belum ada balasan. Sementara kebutuhan hidup dan biaya lainnya harus tetap ada.
Aku sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menceritakan keadaanku pada Ayah dan Ibu. Hanya tinggal menunggu hitungan bulan untuk menyelesaikan masa belajarku di bangku kuliah. Aku harus bisa.
Ternyata tak sampai di situ saja. Cibiran dan sindiran pedas dari orang-orang terdekat juga ikut menggoyahkan iman. Satu persatu mereka menjauh karena aku tidak seasyik dulu. Belum lagi cobaan lain datang menghampiri.
Di saat seperti ini aku hanya bisa bersimpuh di atas sajadah. Memohon agar aku bisa melewati setiap lika-liku ujian yang Dia berikan.
Terkadang ada keinginan untuk berbalik arah. Apalagi ketika berada di fase yang benar-benar membuatku buntu tidak tahu akan melangkah kemana.
Aturan-aturan yang semula kuanggap tidak ada mulai memberi batasan agar diriku menjalani hidup sesuai dengan syariat. Hidupku rasanya semakin terasing.
***
Tiga tahun berlalu.
Di sebuah kamar sederhana, aku duduk menghadap jendela kaca sambil menikmati secangkir cokelat hangat kesukaanku. Udara sejuk akibat turunnya hujan membuat perasaan menjadi semakin tenang.
“Yaa muqollibal qullub tsabbit qolbi ‘alaa diinik.” Sesekali kulantunkan do'a itu sambil memandangi tetesan air hujan.
Sungguh aku sangat bahagia sudah sampai di titik ini. Setelah berjuang melewati masa-masa sulit kini aku bisa menikmati manisnya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Meski hanya berstatus sebagai seorang pendidik merangkap freelance writer, tetapi dengan pekerjaan itu aku bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan orang lain. Hidupku sekarang juga lebih terarah karena hanya ridho Allah yang menjadi tujuan.
Merdeka. Ya, aku merasa merdeka. Tidak terkekang oleh aturan manusia. Biarlah yang buruk menjauh, akan Allah ganti dengan yang lebih baik.
Aku sadar. Dulu jalanku mencari ridho Allah tidak sepenuhnya benar. Namun, aku bersyukur menjadi hamba pilihan untuk merasakan manisnya iman.
Author : Aisyah Nantri
Ilustrator : Endang Setiawati
“Menulis adalah caraku bercerita kepada dunia.”
Selamat membaca di catatan pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.
Post a Comment for "Menggapai Cinta Allah di Dalam Keterasingan - Cerita Hijrah Muslimah"
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.