Melukis Cinta Melalui Do’a, Cerpen Cinta Muslimah
Kisah Seorang Wanita yang Mencintai Dalam Diam

Namanya Arkana Putra. Seorang pelukis asal Bandung yang telah berhasil melukiskan pelangi di hatiku. Sejak bertemu dengan pemuda bertubuh jangkung itu, hari-hariku laksana mejikuhibiniu
Dua tahun sudah aku menahan perasaan. Memendam harapan semoga cinta ini tidak bertepuk sebelah tangan. Namun, apa yang bisa kulakukan?
Menunggu.
Ya, menunggu tanpa kepastian. Bahkan, sampai sekarang aku juga tidak tahu apakah Arkana mempunyai rasa yang sama seperti diriku.
Arkana terlalu dingin untuk disentuh. Dan aku pun bukan wanita yang pandai menguntai kata untuk mengakrabkan diri kepada pria.
“Pak Arkana, sudah ditunggu Pak Wijaya di ruang meeting.” Aku menyambutnya dengan senyum mengembang.
Dia hanya mendehem sekali, seolah tak peduli. Aku langsung mati kutu. Terdiam. Mengekor di belakang punggungnya tanpa berucap sepatah kata pun lagi.
“Lihatlah, Amanda! Sampai kapan engkau berharap tumbuh bunga di tengah padang pasir yang gersang? Berhentilah, mencintai seseorang yang belum pasti!” rutukku dalam hati.
Arkana memang pribadi yang menyebalkan. Mengapa dia bisa bercanda tawa dengan wanita lain, sedangkan dengan diriku pemuda itu berdiri angkuh bagaikan gunung batu?
Zeana Amelia. Gadis cantik, mojang Bandung yang selalu berdiri anggun di samping Arkana, sungguh dia satu-satunya wanita yang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Hanya Zeana yang mampu membuat Arkanaku tertawa lepas.
Ingin marah. Ingin memperlihatkan kalau aku cemburu, tetapi apalah daya. Memangnya siapa aku?
Lagi pula, mana mungkin aku mampu bersaing melawan Zeana. Gadis itu terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan diriku yang biasa saja. Aku hanya bisa berdiam diri, memendam rasa yang semakin hari semakin menyiksa.
Cinta dalam diam, mudah untuk diucapkan. Namun, sulit untuk dilakukan.
Aku menyerah.
Sebuah cincin bermata berlian melingkar di jari manis milik Zeana. Kenyataan yang telah meruntuhkan harapanku. Gadis itu sudah bertunangan. Tentu saja dengan Arkana.
Aku kecewa.
Terlalu menyakitkan jika harus menyaksikan sang pujaan hati merenda kebahagiaan dengan wanita lain. Aku memilih pergi. Menghapus jejak di mana diriku pernah mengagumi sosok Arkana yang sangat sulit untuk kumiliki. Biarlah rasa ini menjadi sebuah kenangan yang tersimpan rapat tanpa perlu diungkap.
“Aku pasti bisa melupakanmu, Arkana,”gumamku, saat mengundurkan diri dari tim kami.
Pengecut. Memang itulah sebutan yang harus kusandang. Tanpa berpamitan dengannya - aku menjauh - meninggalkan sekelumit kisah di mana Arkana pernah ada dan bertahta di hatiku.
***
Kupikir akan mudah melupakan Arkana, tenyata tidak. Bayangan pria itu malah semakin nyata.
“Amanda, mengapa engkau seperti ini? Dia sudah berbahagia dengan pilihannya. Sedangkan engkau? Begitu bodoh membiarkan dirimu jatuh dalam kubangan cinta yang menyiksa.” Aku bersenandika dalam sepi. Pertarungan logika kerap kali datang menghampiri.
Aku terisak tak berdaya. Sujud panjang kujadikan perantara untuk menyampaikan rindu yang selama ini dipendam. Setiap malam kulukis cinta melalui do’a yang kupanjatkan tanpa henti. Sungguh, hanya itu yang bisa kulakukan.
***
“Amanda, semua keputusan ada di tangan kamu, Nak. Jika kamu merasa bahagia, Ibu dan Ayah pun juga ikut bahagia,” ucap Ibu.
Aku terhenyak mendengarnya. Bagiku apa Ibu katakan adalah sebuah pernyataan yang memaksa aku untuk memberikan jawaban.
Kutatap mata teduh milik Ibu. Ada sebuah harapan agar aku menerima perjodohan yang sudah Ayah putuskan. Meski Ibu berucap semuanya terserah aku, tetapi aku yakin ‘iya’ adalah jawaban yang ditunggu.
“Apa kamu sudah punya pilihan yang lain, Nak?” pertanyaan Ibu kembali menyudutkanku.
Aku menggeleng pelan. Getir. Hatiku masih terpaut pada Arkana. Lama nian tidak kudengar kabar tentang pria itu. Mungkin sekarang dia sedang menanti buah hatinya bersama Zeana.
“Ah.” Tanpa sadar aku menggigit bibirku sendiri. Rasanya sakit ketika bayangan mereka berdua kembali datang.
“Amanda, menikah tidak harus didasari rasa cinta. Seiring berjalannya waktu, perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya. Ibu yakin, pria pilihan Ayah pasti bisa membahagiakan kamu, Nak.”
Aku menghela napas. Memejam sejenak demi mencari jawaban yang pas untuk kuberikan.
Bimbang.
Dua puluh lima tahun, bukan lagi usia yang muda. Rasanya terlalu konyol jika aku masih menunggu jatuh cinta sebagai alasan untuk menikah. Sementara itu, teman-teman sebayaku sudah menggendong anak semua.
Meski aku belum tahu akan dijodohkan dengan siapa, tetapi aku percaya jika pilihan Ayah tidak pernah salah. Beliau selalu selektif untuk memilih pria mana yang berhak mendampingi putrinya.
“Tidak apa-apa kalau Manda belum punya jawaban sekarang. Nanti bisa dibicarakan kembali. Pelan-pelan saja, biar tidak ada penyesalan.” Ibu beranjak dari sisiku.
“Bu ....” Cepat kuraih pergelangan tangannya. “Manda bersedia, Bu.”
Ibu memandangku seolah masih ragu, “Kamu sudah yakin, Nak?”
Aku mengangguk. Meski masih ada setitik rindu untuk Arkana, tetapi cepat atau lambat aku harus menghapus semua tentang dia.
***
Dalam balutan kebaya longgar berwarna putih, ditambah jilbab yang menutup dada. Berhiaskan mahkota kecil yang bertengger di atas kepala. Aku sebisa mungkin bersikap tenang di tengah perasaan yang bercampur aduk.
Ini adalah hari mendebarkan bagiku. Di ruang keluarga ada seorang pria yang sedang berjabat tangan dengan Ayah untuk mengalihkan tanggung jawab atas diriku padanya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Amanda Zahra binti Winata dengan mas kawin tersebut, tunai.”
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
Kudengar rentetan suara-suara itu. Kini statusku sudah berubah menjadi seorang istri. Zeana yang sedang hamil muda memeluk tubuhku sambil memberikan ucapan selamat.
“Barakallah, Mbak Amanda. Selamat datang di keluarga besar kami. Semoga berbahagia selalu,” ucapnya.
Aku menyambut pelukan adik sepupu Arkana itu dengan rasa bahagia. “Terima kasih, Zeana.”
Ada perasaan malu karena selama ini sudah salah sangka pada wanita itu. Rasa kecewa sudah terlebih dulu singgah, tanpa aku tahu kalau Zeana dan Arkana bukanlah pasangan kekasih, melainkan bersaudara. Tidak harusnya kecemburuanku ini kulabuhkan pada Zeana.
“Ayo, salim suamimu, Manda,” perintah Ayah.
Pandanganku beralih pada Arkana. Tangan ini bergetar. Degupan jantungku terasa tidak beraturan.
“Akh.” Kuremas jari jemariku sendiri.
“Ayo, Mbak. Gak usah malu.” Zeana menuntun tanganku menyambut tangan Arkana.
Aku memejamkan mata sambil meletakan bibir di punggung tangannya. Sebuah sentuhan mendarat di pucuk ubun-ubunku. Ada lafaz lirih yang terdengar dari mulut Arkana. Entah apa yang dipintanya. Namun, tanpa ragu aku pun turut mengaminkan.
Sungguh dunia memang berada dalam genggaman Allah, begitu juga dengan hati Arkana. Tidak kusangka cinta yang kulukis lewat do’a bisa tercipta dengan indah. Kali ini aku terisak kembali ketika dia telah usai mengucap ijab qabul di akad pernikahan kami.
Tamat.
Author : Aisyah Nantri
Ilustrator : Endang Setiawati
“Menulis adalah caraku bercerita kepada dunia.”
Selamat membaca di Catatan Pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.
Post a Comment for "Melukis Cinta Melalui Do’a, Cerpen Cinta Muslimah"
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.