Kisah Penantian Terbaper, Kuserahkan Semua Takdirku Hanya kepada-Mu
Sekuat Apapun Berjuang Takdirlah yang Menjadi Pemenang
Titik Pasrah Seorang Wanita Salihah adalah Menyerahkan Segala Urusannya Hanya kepada Allah – Terkadang apa yang kita perjuangkan malah tidak bisa didapatkan. Bukan karena kurang usaha, tetapi memang takdirnya belum ada.
Jodoh, rezeki dan kematian itu semua masih misteri. Tidak bisa diterka serta tidak bisa diprediksi. Yakinlah semua itu akan tidak akan luput dari takdir kita.
Seperti kisah dibawah ini, semoga saja bisa menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya.
***
“Ra, kamu yakin mau menolak lamaran Haykal?” tanya Atifah pelan.
Aku hanya menganggukan kepala, menjawab pertanyaan gadis bermata cokelat itu. Atifah menarik napas dalam lalu menghempaskan punggungnya di atas kursi.
Raut wajah Atifah tidak bisa berbohong, sahabatku itu terlihat kecewa dengan keputusan yang telah kuambil.
“Aku bingung deh sama jalan pikiran kamu. Entah sosok pria seperti apa yang kamu cari. Ingat, Ra. Gak ada manusia yang sesempurna Rasulallah.”
“Maafin aku, Fah. Aku udah salat istikharah dan hasilnya aku semakin ragu untuk menerima Haykal sebagai imam.”
“Hanya itu? Bukan karena Satya?” cecar Atifah beruntun.
Wajahku berubah pias, ucapannya seakan-akan langsung menghujam pikiranku.
“Kamu tidak bisa seperti ini terus, Ra. Kamu harus move on, belum tentu juga Satya mempunyai rasa yang sama terhadap kamu. Bahkan, sudah tiga tahun berlalu dia masih saja tidak menampakkan batang hidungnya untuk datang melamar kamu.”
“Bukan begitu, Fah. Aku hanya tidak ingin membangun pernikahan di atas lautan perasaan yang masih goyah. Aku takut bahtera rumah tangga antara aku dan Haykal akan tenggelam oleh cerita lama yang belum usai, Fah,” tandasku.
Atifah meraih segelas es jeruk yang ada di depan kami, sambil meneruskan ucapannya. “Ameera, kamu harus bisa mengubur perasaan kamu pada Satya. Itu adalah perasaan yang salah dan tidak seharusnya kamu pupuk menjadi sebuah penantian yang tidak kunjung ada jawaban.”
“Entahlah, Fah. Mungkin aku dan Haykal memang belum berjodoh.”
Atifah terdiam mendengar sangkalan yang kuberikan.
Hening.
Aku dan Atifah sibuk dalam pikiran masing-masing. Entah berapa lama kami berdua saling membisu.
Tiba-tiba dering ponsel milik Atifah memecah kesunyian. Seseorang di seberang sana membuat dia beranjak dari kursi yang kami duduki.
“Ya, sudah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Ra, karena semua keputusan ada di tangan ini kamu. Aku hanya bisa mendoakan semoga pria yang kamu tunggu itu memang yang terbaik.” Atifah menepuk pundakku sambil berlalu.
Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh, lalu menghilang di balik pintu.
Atifah benar, tidak seharusnya aku mengharapkan Satya kembali, setelah sekian lama dia pergi. Belum tentu juga pria itu mengetahui kalau aku menaruh hati pada dirinya.
Andai saja aku seberani ibunda Khadijah yang mengirim perantara untuk mengungkapkan rasa pada Rasulullah, mungkin itu sudah lama kulakukan. Namun, aku lebih memilih seperti ibunda Fatimah yang memendam cinta dalam diam hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib datang meminang.
Aku berharap perasaanku pada Satya tidak bertepuk sebelah tangan.
***
“Ya Allah, aku percayakan semua urusan ini kepada-Mu,” bisikku perlahan.
Di tengah temaramnya lampu kamar aku duduk bersimpuh di atas sajadah. Menengadahkan tangan. Memohon kepada Allah agar segera mengabulkan do'a yang belum diijabah.
Jika sebelumnya selalu ada nama Satya yang kuselipkan di setiap doa. Namun, kali ini aku menyerah, aku pasrah terhadap takdir yang akan Allah gariskan.
Sejak beberapa hari yang lalu benteng keangkuhanku hancur seketika, mendengar kabar kalau Satya akan menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Sebuah undangan yang Satya kirimkan berhasil merobek-robek harapanku.
Aku terluka.
Tentu saja.
Ternyata aku tidak mampu melawan takdir. Meski sudah berusaha sekuat tenaga menciptakan jalan agar kami bisa bersama. Nyatanya manusia hanya bisa berencana, tuhanlah yang menentukan segalanya.
Aku lupa, bahwa jika aku berharap pada manusia maka aku harus bersiap-siap untuk kecewa.
“Ameera, labuhkan rasamu kepada Allah terlebih dahulu sebelum kamu melabuhkan rasa itu kepada manusia. Semua takdir yang kita jalani adalah baik, jika kita ikhlas menerima dan mau mengambil hikmahnya,” kata Ustazah Hani kala itu.
Seperti biasa aku selalu berbagi cerita kepada beliau. Selain membuat perasaan lega, aku juga mendapat solusi bagaimana seharusnya aku mengambil langkah.
“Ustazah, apakah salah jika saya berharap menikah dengan pria yang saya cintai?”
Ustazah Hani tersenyum mendengar ucapan ku. “Tidak ada yang salah, Ameera. Namun, kita harus tahu diri, status kita hanya hamba di mata sang pencipta. Bukan pengatur segala takdir yang ada di muka bumi ini. Jadi, seandainya harapan itu tidak terjadi, terimalah dengan lapang dada.”
“Berat rasanya, Ustazah ....”
“Ameera, kamu harus ingat ya, baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah. Sekarang fokus saja memperbaiki diri, karena nanti jodoh yang baik akan datang sendiri.” Ustazah Hani menyudahi pembicaraan kami dengan nasihat yang indah.
Sejak saat itu, aku bertekad mengubur luka lama dan menghapus semua cerita tentang Satya. Mengisi hari-hariku dengan suasana baru. Memperbaiki diri sambil menunggu jodoh terbaik yang Allah janjikan
***
Setahun berlalu.
Aku memacu sepeda motor yang kukendarai dengan kecepatan sedang. Gerimis tipis yang membasahi kota Jakarta membuat jaket yang kukenakan menjadi sedikit lembab.
Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, aku tiba di gang depan rumah. Saat memasuki pekarangan, mobil avanza berwarna hitam yang terparkir tidak jauh dari pintu masuk menarik perhatianku.
“Siapa yang bertamu, ya?” gumamku.
Aku merasa heran dengan adanya kendaraan beroda empat tersebut, karena akhir-akhir ini jarang ada orang asing yang berkunjung ke rumah. Kecuali kerabat dekat, itu pun pas ada acara keluarga. Dan semuanya aku kenal jenis serta type kendaraan yang mereka punya.
Kulihat Ibu dan Ayah sedang berbicara dengan seorang pria yang duduk membelakangi pintu ruang tamu.
Kuucapkan salam seperti biasa, tanpa berniat mengganggu pembicaraan mereka. Ayah dan Ibu menjawab salamku, begitu juga dengan pria itu.
Betapa terkejutnya aku ketika pria tersebut membalikkan badan.
“S-Satya ....” gagapku.
“Apa kabar, Ameera?” sapa Satya sambil mengulas senyum.
Aku masih tertegun setengah kebingungan. Ada apakah gerangan sehingga Satya tiba-tiba muncul kembali di kehidupanku, karena setelah mendengar dia akan menikah aku memutuskan untuk melupakannya. Menutup semua akses media sosial yang selama ini kugunakan untuk menstalking kesehariannya.
“Ameera, sini, Nak,” ajak Ayah.
Aku duduk di samping Ibu sambil memandangi lantai. Rasanya tak sanggup menatap wajah Satya yang duduk tepat di hadapanku.
“Astaghfirullah.” Getaran aneh itu kembali menyeruak di dalam dada. Aku sebisa mungkin bersikap tenang.
“Ameera,” Ayah memulai pembicaraan.
“Iya, Ayah.”
“Nak Satya datang ke sini berniat untuk melamar kamu. Tadi ---“
Aku tidak lagi fokus mendengar apa yang Ayah ucapkan. Benarkah? Apa aku cuma berhalusinasi?
Baru kutahu rencana pernikahan Satya waktu lalu harus berujung pilu. Allah berkehendak lain, calon istri Satya mengalami kecelakaan sehari sebelum ijab qabul pernikahan digelar.
Lagi-lagi ini tentang takdir, siapa yang sanggup melawannya? Jodoh, rezeki, dan maut adalah rahasia Allah. Tentang kapan dan di mana manusia mendapatkannya, hanya Allah yang tahu.
Sama dengan diriku, aku sama sekali tidak menyangka di saat aku berada di titik pasrah, menyerahkan semua urusan hidup ini kepada Allah, Allah datangkan dengan mudah segala pintaku di masa lalu.
Aku teringat kisah Zulaikha yang mengejar Nabi Yusuf, semakin dikejar semakin sukar pula untuk didapatkan. Namun, ketika Zulaikha mengejar cinta Allah ternyata Nabi Yusuf malah berbalik ke arah Zulaikha.
Tamat.
Sekilas dan Selintas
Karya tulis di atas pernah meraih juara harapan di Event Religi, menulis cerita pendek dengan tema Melawan Takdir yang diselenggarakan oleh Kak Tia Gustiani, dari Nahwa Publisher.
Dan sudah dicetak dalam buku antologi berjudul Melawan Takdir yang merupakan gabungan karya tulis dari para juara dan naskah terpilih lainnya.
Saya, sebagai salah satu pegiat literasi akan berusaha untuk terus memperbaiki tulisan agar bisa dinikmati semua kalangan dalam keadaan siap saji, bermanfaat dan penuh makna.
Author : Aisyah Nantri
Ilustrator : Endang Setiawati
“Menulis adalah caraku bercerita kepada dunia.”
Selamat membaca di catatan pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.
Post a Comment for "Kisah Penantian Terbaper, Kuserahkan Semua Takdirku Hanya kepada-Mu"
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.