Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kisah Sedih Pengingat Kematian, Dunia Ini Hanya Persinggahan!

Kumpulan Cerpen Religi Motivasi sebagai Pengingat Diri






Canasyah - Setiap perjalanan ada yang namanya tempat persinggahan, tetapi bukan tempat untuk pulang. Misalnya kereta api yang melaju, dia akan berhenti sebentar di stasiun pemberhentian. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di tempat tujuan.

Begitu juga dengan perjalanan seorang manusia. Hidup di dunia hanyalah sementara. Sebelum melanjutkan ke tempat terakhir dalam kehidupan. Menunggu giliran kapan kematian itu datang.

Terkadang kita terlena dan hanyut dalam kesedihan, saat orang yang kita cintai berpulang terlebih dahulu. Padahal kelak kita juga akan menyusul mereka. Tanpa tahu kapan waktunya batas waktu yang sudah ditentukan. Sepenggal kisah di bawah ini, mungkin bisa jadi pengingat untuk aku dan kamu yang membacanya.

Menanti Pesan Rindu Abi dan Umi


“Gimana, Zah, udah selesai? Mau pulang sekarang atau ....” Tiba-tiba suara Husna membuyarkan lamunanku.

Gadis berkulit putih itu tersenyum, sambil merapikan ujung gamisnya yang kena sapuan angin. Aku hanya menghela napas pelan, berusaha menyembunyikan perasaan sedih di hatiku. Mengusap butiran halus yang keluar dari sudut mata.

“Bentar lagi, Na. Aku masih ingin di sini. Berada di tempat ini membuatku menjadi lebih bersemangat. Tempat yang mengingatkan, kalau aku masih punya rumah untuk pulang. Melihat kereta yang melaju, seakan-akan membawa pesan rindu dari Umi dan Abi,” lirihku.

“Zahra, kamu harus kuat dan sabar. Uwak mengirimmu kesini juga demi kebaikanmu. Kalau kamu kembali ke desa nanti, kamu bukan hanya membawa ilmu, Zah, tetapi juga iman. Itu bekal yang berguna untukmu kelak. Tentu hal itu akan membuat Uwak bangga.” Gadis anggun penyuka warna hitam itu mengusap lenganku dengan lembut.

Aku memainkan jari jemari, sembari memperhatikan pemudik yang berlalu lalang menuju pintu stasiun. Pemandangan yang membuatku merasa terhibur, raut bahagia nampak terpancar di wajah mereka. Seakan-akan aku melihat lambaian tangan Abi di antara mereka.

“Berat, Na, kamu lebih beruntung karena pondok kita tak jauh dari rumahmu. Jadi, setiap bulan kamu bisa pulang ke rumah. Tidak seperti aku yang harus menunggu libur panjang atau lebaran baru bisa pulang. Aku kangen pelukan Umi, aku rindu melihat senyuman Abi.” Kurasa mataku kembali mengembun.

Husna menggenggam tanganku, gadis itu tersenyum hangat. “Orang tuaku adalah orang tuamu juga, Zah. Di sini rumahku adalah tempatmu pulang. Kita adalah saudara. Aku paham apa yang kamu rasakan, kamu harus terbiasa menerima kenyataan.”

Lambaian dan Pesan Terakhir untuk Zahra


Aku terdiam dan mematung. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku yang pertama adalah seorang pekerja keras. Semenjak menikah, beliau lebih memilih tinggal di kota kelahiran suaminya. Sehingga jarang pulang menengok Umi dan Abi, sibuk dengan karir dan keluarga kecilnya.

Sudah hampir dua tahun aku berada di kota sejuk yang di juluki Kota Tapis Berseri ini. Umi dan Abi memintaku untuk menuntut ilmu di salah satu pondok di sini. Mereka ingin aku menjadi ustazah di desa kami. Walau, setiap akhir bulan aku dan santriwati lain diizinkan untuk pulang, tetapi karena jarak yang jauh aku memilih rumah Husna sebagai tempat melepas penatnya kegiatan belajar.

Husna dan aku adalah sepupu. Sebelum berangkat ke pondok, aku memang sudah dititipkan ke keluarga Husna. Abi dan Umi mempercayakan orang tua Husna untuk mengurus dan mengawasiku selama berada di kota ini.

Aku masih teringat ketika Umi dan Abi berpamitan untuk kembali ke desa kami setelah mengantarku. Di stasiun ini, Umi memeluk dengan dekapan hangat.

“Zahra, anak Umi yang salihah. Zahra jangan lupa salat, ya, Nak. Harus rajin belajar, dan jangan lupa menjalankan kewajiban yang lain. Berdo’a meminta ketenangan dan keberkahan dalam menuntut ilmu. ”

“Umi ....” kueratkan pelukan di tubuh wanita yang sudah melahirkanku itu, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga.

Abi mengelus kepalaku dengan lembut, “Zahra harus belajar mandiri, Nak. Abi yakin, Zahra pasti jadi anak yang hebat. Jalani dengan penuh kebahagiaan dan tanpa beban. Niatkan karena Allah. Karena setiap langkah yang Zahra lakukan akan bernilai pahala.”

Air mataku semakin deras mengalir mendengar petuah abi.

“Zahra gak malu, dilihat Husna. Masak umurnya sudah mau lima belas tahun masih cengeng.” Abi tersenyum melihatku menangis.

Kuseka air mataku.

Di umur yang beranjak dewasa ini aku memang masih manja kepada Umi dan Abi, tak pernah sekali pun aku berpergian tanpa mereka. Mungkin karena aku anak bungsu, atau ... entahlah. Dan kali ini aku harus berpisah dengan mereka untuk mencari ilmu.

“Pokoknya Zahra harus semangat, tidak boleh minta pulang. Biar Abi dan Umi yang kesini menengokmu. Pokoknya anak Abi tidak boleh cengeng. Kalau misalkan kangen sama Abi dan Umi, Zahra datang ke stasiun aja minta temenin Husna. Anggap saja, keretanya membawa pesan rindu dari Umi dan Abi untuk Zahra.” Aku masih ingat rangkaian kalimat Abi saat itu.

Abi tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Kemudian menghilang bersamaan dengan melajunya kereta api yang ditumpangi. Rupanya itu terakhir kali aku melihat senyuman beliau.

Kabar Duka Membuat Gelap Dunia


Hanya selang beberapa bulan sesudah itu, aku mendapat telepon dari desa. Umi memintaku pulang, Abi sakit keras. Setelah mendapat izin dari pondok, dengan diantar abinya Husna. Aku langsung bergegas ke stasiun, menuju kereta yang akan membawa ke desa.

Perjalanan delapan jam dari kota yang sejuk ini, menuju desa tempat tinggalku terasa begitu lama. Sepanjang perjalanan aku gelisah, aku khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan pada Abi.

Sesampainya di rumah kudapati suasana sudah ramai. Bendera kuning sudah terpasang di pinggir jalan.

“Abiii!” aku berteriak tanpa bisa mengendalikan diri. Bagaimana tidak, orang yang kucinta telah tiada.

Duniaku gelap.

Sejak saat itu, setiap libur bulanan aku dengan ditemani Husna sering pergi ke stasiun kereta. Kebetulan rumah Husna tak jauh dari sini. Menatap stasiun ini aku serasa melihat lambaian tangan Abi. Melihat kereta yang singgah seperti mendapat kiriman pesan rindu dari beliau.

Pengingat Diri dalam Kehidupan


Aku kembali melamun mengingat semua itu.

“Permisi, Mbak. Boleh duduk di sini?” Seorang wanita setengah baya tersenyum ramah menyapa kami.

“Ehm, silahkan, Bu,” jawabku dan Husna hampir berbarengan.

“Mbak berdua ini, tujuannya mau kemana?” dia bertanya sambil memasukkan sebuah buku ke tasnya.

“Kami hanya numpang duduk di sini, Bu. Ingin melihat pemudik yang pulang kampung,” ucap Husna.

“Oh ... kirain mau pulang atau pergi kemana? Mungkin satu tujuan sama Ibu.”

“Gak, Bu. Hanya ingin melihat kereta yang singgah," sahutku.

“Benar sekali, stasiun ini hanyalah sebuah tempat persinggahan bagi kereta. Kereta akan berhenti setiap hari, tetapi hanya singgah. Kemudian akan melanjutkan perjalanan lagi. Sama halnya dengan manusia, tinggal di dunia hanyalah sementara. Pada akhirnya akan melanjutkan perjalanan menuju kematian.”

Aku dan Husna hanya tertegun mendengar ucapan wanita itu.

“Mbak, kereta yang saya tunggu sudah tiba. Saya permisi. Assalamu’alaikum ....”

“Wa’alaikumussalam .....”

Hening.

Kutatap kereta yang berlalu di hadapanku. Deru suaranya terdengar menggema, aku berbisik dalam hati.

“Abi, Zahra masih singgah di sini, di dunia ini.”

Tamat.

Post a Comment for "Kisah Sedih Pengingat Kematian, Dunia Ini Hanya Persinggahan!"