Yogyakarta di Pagi Hari, Takdir Milik Allah Episode 17
Novel Religi Penuh Motivasi Kehidupan
“Selamat Pagi, dunia,” ucap Nayra merentangkan kedua tangan.
Yogyakarta sangat menyenangkan. Udara sejuk dan bersih jauh dari yang namanya polusi. Gedung kampus banyak dijumpai di kota ini tidak heran kalau Yogyakarta dijuluki kota pelajar.
Hari ini adalah hari pertama Nayra kuliah setelah mengikuti kegiatan OSPEK yang melelahkan. Suasana di kampus masih sepi dan Nayra sengaja datang lebih pagi.
Hembusan angin sejuk seperti sebuah tangan halus yang tak terlihat. Ujung jilbab yang Nayra pakai terlihat berkibar membuat gadis itu berkali-kali membetulkan letaknya.
“Hai, kamu mahasiswi baru, yah? Perkenalkan namaku Zahra.” Seorang gadis cantik menyapa Nayra dan gadis itu menghentikan langkahnya.
Zahra memakai almamater yang sama seperti Nayra, dia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Nayra. Senyum manis di wajahnya memperlihatkan keramahan. Nayra merasa tidak asing melihat Zahra.
“Hai, juga Zahra, aku Nayra. Senang bisa berkenalan denganmu,” sahut Nayra, “Zahra, sepertinya aku sering melihat kamu.”
“Mungkin sewaktu OSPEK, Nay.”
Sambil berjalan Nayra dan Zahra saling bertukar cerita, sesekali Zahra menyapa mahasiswi lain yang berpapasan dengan mereka.
Zahra adalah seorang gadis cantik dan pintar, dia juga penerima beasiswa di kampus ini sama seperti Nayra.
“Nayra, kamu suka datang ke Majelis Taklim, gak?” tanya Zahra.
“Aku belum pernah datang secara langsung, Zah, paling dengerin kajian di Youtube saja. Males banyak ibu-ibu nanti akunya keki di sana. Ibu aku yang sering datang dan ilmunya baru disampaikan di rumah,” jawab Nayra.
Nayra memang tidak pernah mau bila diajak Bu Sofi datang ke Majelis Taklim, alasannya selalu nanti saja dan jika mau memperdalam ilmu agama menunggu usia senja.
Nayra beranggapan hidup dalam aturan agama itu seperti terkekang dan dirinya merasa belum siap.
“Di sini ada kajian khusus muslimah dan yang hadir di Majelis Taklim tidak selalu ibu-ibu, Nay, beragam. Banyak juga anak kuliahan seperti kita gini, anak sekolahan, mbak-mbak yang yang sudah kerja juga ada. Kalau kamu mau datang kita bisa berangkat bareng, jadwalnya setiap Minggu pagi,” tawar Zahra.
“Memangnya kajian muslimah seperti itu bahas apa, Zah? Kalau salat dan tahzin aku sudah bisa.”
“Banyak, Nay, tentang Tauhid, Fikih, Akhlak, Muamalah dan lain-lain. Kamu seriusan belum pernah dengerin kajian secara langsung?” tanya Zahra.
Zahra sudah berpengalaman dan mempunyai ilmu agama yang bagus, cara berpakaiannya pun rapi dan sopan. Tutur kata yang lembut dan halus menghiasi ucapan gadis cantik itu. Nayra merasa bukan apa-apa dibandingkan Zahra.
“Belum pernah, Zah.” Nayra menggelengkan kepala.
“Nanti kapan-kapan kamu ikut aku, yah, di sini banyak Majelis Taklim. Aku sendiri sehabis ikut taklim gitu seperti punya semangat baru, iman serasa dicas kembali. Istilahnya ngumpul-ngumpul berfaedah sambil mencari ilmu berpahala pula. Nanti kamu tahu sendiri kalau sudah pernah datang pasti ketagihan. Bawaanya tenang dunia seperti tidak ada artinya,” jelas Zahra panjang lebar.
Nayra mendengarkan Zahra berbicara sambil merapikan anak rambutnya yang keluar. Kadang gadis itu mengangkat ujung gamis yang dipakainya agar tidak tersentuh tanah.
Tidak seperti Zahra yang sudah luwes, Nayra butuh perjuangan keras untuk menyesuaikan diri.
“Zahra, gamis kamu menyentuh tanah nanti kotor. Masa’ mau ganti baju dulu sebelum salat,” celetuk Nayra melihat ujung gamis Zahra yang menyapu lantai.
Zahra tersenyum mendengarnya.
“Ini salah satunya, Nay. Seperti yang aku tahu kalau ini dianjurkan bahkan sunah. Diperbolehkan untuk muslimah memanjangkan ujung gamis sampai batas maksimal dua jengkal. Seandainya pun kotor ini tidak mengapa karena tanah selanjutnya yang jadi pembersih,” jelas Zahra.
“Wah, keren kamu, Zah. Bisa tahu sampai sedetail itu,” puji Nayra.
“Tidak ada yang keren, Nay. Ini termasuk pengetahuan dasar dan umum. Ilmu ini aku dapatkan di Majelis Taklim. Ustaz dan Ustazahnya menyampaikan dakwah mengambil sumber dari Al-Qur’an dan Hadis Rasulallah. Standar pedoman hidup kita ‘kan dua itu,” tutur Zahra, mengacungkan dua jarinya.
Nayra merasa terpesona akan kecerdasan Zahra, mahasiswi cantik itu memang patut diacungi jempol.
Ada perasaan nyaman di hati Nayra ketika bertukar cerita dengan Zahra, di usianya yang baru tujuh belas tahun Zahra sudah punya pemikiran yang dewasa.
Dia juga terlihat bijaksana dalam bersikap dan berbicara. Meski penampilannya sederhana, tetapi Zahra tetap memancarkan aura yang positif.
“Karena keasyikan ngobrol kita sudah sampai di depan kelas aja nih,” celetuk Nayra.
Mereka memilih tempat duduk berdekatan, kelas baru ini cukup nyaman, bersih dan tertata rapi. Beberapa mahasiswa mulai berdatangan dan memasuki kelas masing-masing.
***
Semakin hari kedekatan Nayra dan Zahra semakin erat, mereka semakin sering terlihat bersama.
Seperti siang itu ketika ada jam kosong di kelas Nayra dan Zahra mengisi waktu dengan bersantai sambil menikmati pemandangan dan angin sejuk di sekitar kampus. Keduanya memilih bangku panjang di bawah sebuah pohon.
Seorang pemuda bertubuh jangkung menghampiri mereka, gayanya petantang-petenteng dan sok berkuasa. Dia adalah Noval senior di kampus ini.
“Assalamu’alaikum ustazah Zahra, siapa nama temannya? Boleh kenalan ‘kan,” ucap Noval mengejek.
“Wa’alaikumussalam Noval, namanya Nayra. Udah sana! Jangan ganggu dia, kamu gak ada kapoknya dari zaman SMA gangguin saya terus,” usir Zahra.
“Galak amat, Zah, entar cantiknya hilang, loh,” goda Noval.
Zahra tidak memedulikan ucapan Noval, dia memasang wajah masam.
“Hai, Nayra. Kenalin aku Noval siswa populer di sekolah dulu, tanya saja Zahra kalau kamu tidak percaya.” Noval mengulurkan tangannya ke arah Nayra.
“Nayr--.” Nayra mengulurkan tangannya tetapi buru-buru ditarik Zahra.
“Namanya Nayra, sudah tahu ‘kan, Val. Sudah sana tidak usah modus! Jangan dekat-dekat,” usir Zahra lagi.
“Alaaah! Bilang saja kamu cemburu dan iri, Zah.” Noval menarik lengan Zahra dan membuat Zahra terhuyung ke depan.
Tiba-tiba datang seorang pemuda lain mendorong Noval dengan keras sehingga mahasiswa bengal itu terjatuh.
“Kalau berani jangan sama perempuan, Bung,” gertak pemuda itu.
Noval pergi meninggalkan mereka tanpa perlawanan.
“Kak Fahri,” sapa Zahra.
“Zahra, kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya pemuda yang bernama Fahri tersebut.
“Tidak apa-apa, Kak. Noval memang keterlaluan,” geram Zahra.
#Bersambung....
Author: Aisyah Nantri
Sumber Pict: Pixabay
Selamat membaca di Catatan Pena Aisyah dan semoga ada manfaat yang didapat.
Post a Comment for "Yogyakarta di Pagi Hari, Takdir Milik Allah Episode 17"
Disclaimer: Semua isi konten baik, teks, gambar dan vidio adalah tanggung jawab author sepenuhnya dan jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan/dirugikan silahkan hubungi admin pada disclaimer untuk kami hapus.